
Pembayaran tarif tol menggunakan e-toll. Sumber. Tempo.co
Pemerintah resmi menaikkan tarif tol ruas dalam kota Jakarta per 22 September lalu. Penyesuaian ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menetapkan evaluasi tarif tol setiap dua tahun sekali. Kenaikan tarif ini berlaku untuk semua golongan kendaraan, baik kendaraan pribadi, kendaraan berat, hingga angkutan logistik.
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) jurusan Kesejahteraan Sosial (Kessos) semester tiga, Ikrimatul Lathifa menuturkan, sebagai mahasiswa rantau sekaligus aktif menggunakan tol sebagai jalur transportasi, kebijakan kenaikan tarif tol tersebut tentu mendatangkan kerugian yang cukup berarti baginya. Padahal, jalan tol masih ditemukan masalah, seperti kemacetan dan fasilitas yang minim.
“Saya menggunakan tol hampir setiap seminggu sekali sebagai perantau, sehingga kenaikan tarif ini jelas berdampak pada pengeluaran pribadi. Seharusnya pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini sebelum menaikkan tarif, karena tidak semua masyarakat memiliki keuangan stabil. Kemacetan di tol juga masih terjadi, sehingga kenaikan tarif tanpa perbaikan adalah bentuk ketidakadilan bagi pengguna jalan,” ujarnya.
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Ilmu Hukum (IH), semester tiga, Nadwah Safira menanggapi, sebagai orang yang sering mengeluhkan perihal tol, adanya putusan baru yang diturunkan cukup meresahkan. Menurutnya, catatan pelayanan jalan tol harus dievaluasi dan ditingkatkan. Pelayanan tol yang minim dapat mempengaruhi tanggapan dari masyarakat.
“Kalau kenaikan ini diimbangi dengan perbaikan jalan dan pengurangan kemacetan, saya rasa masih bisa diterima. Tapi, tentu saya juga berharap agar pengadaan kualitas pelayanan tol juga meningkat seiring dengan kenaikan tarif tol. Di samping itu, sumber daya dan fasilitas publik juga harus dikelola dengan lebih baik,” tuturnya.
(Keyzar Devario)