107.9 RDKFM

Wujudkan Indonesia Emas 2045, Kemendiksaintek Luncurkan Program Riset Prioritas Strategis APBN 2026

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto. Sumber. towa.co.id Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek) akan meresmikan Program Riset Prioritas Tahun Anggaran 2026. Program ini bertujuan memperkuat arah penelitian nasional melalui enam bidang riset strategis yang didukung pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagai langkah konkret dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST), jurusan Sistem Informasi (SI), semester tujuh, Abdullah Fadli mengungkapkan, peluncuran program riset baru menjadi langkah penting dalam menyongsong momentum menuju Indonesia Emas 2045. Mahasiswa memiliki kesiapan untuk menghadapi realitas di lapangan, berpartisipasi aktif dalam riset nasional, serta turut berperan dalam memastikan transparansi pelaksanaannya. “Program ini diharapkan mampu memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan memiliki ketepatan dalam implementasinya. Dengan demikian, hasil riset yang dihasilkan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga dapat diterapkan secara langsung untuk menjawab kebutuhan dan tantangan di berbagai sektor kehidupan,” ungkapnya. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES), semester sembilan, Maulana Jafar Sodik menyampaikan, program riset nasional menjadi langkah strategis dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Pengembangan kesejahteraan masyarakat dipandang sebagai aspek penting agar setiap program yang dijalankan mampu memberikan dampak nyata dan berkelanjutan bagi publik. “Dukungan fasilitas dari pihak kampus turut berperan besar dalam mendorong kelancaran pelaksanaan kegiatan riset. Dengan adanya koordinasi yang jelas antara pemerintah dan perguruan tinggi, partisipasi mahasiswa diharapkan dapat mencakup lebih banyak bidang dan menciptakan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan bangsa,” ujarnya. (Maura Maharani Rizky)

Perkuat Kapasitas Perempuan untuk Indonesia Emas 2045, KemenPPPA Luncurkan Sekolah Kepemimpinan

KemenPPPA luncurkan Sekolah Kepemimpinan Kartini untuk memperkuat kapasitas perempuan sebagai bekal menuju Indonesia Emas 2045. Sumber. arina.id Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terus mendorong penguatan kapasitas dan keberanian perempuan melalui Program Sekolah Kepemimpinan Perempuan Kartini. Inisiatif yang diprakarsai Arifah Fauzi ini dirancang untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan memperluas peran mereka di berbagai sektor pembangunan. Mahasiswi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Manajemen Dakwah (MD), semester tujuh, Hafiya Mumtzmahal Azhila menyampaikan, program Sekolah Kepemimpinan Perempuan Kartini menjadi wadah untuk mendorong peserta memperkuat kepercayaan diri sekaligus mengasah kemampuan berkomunikasi. Program ini diharapkan mampu membentuk perempuan yang berdaya, berani berpendapat, dan siap mengambil peran strategis di masyarakat. “Melalui kegiatan ini, perempuan diberi kesempatan untuk belajar berbicara di depan umum, menyalurkan aspirasi, serta membangun jaringan dan relasi yang lebih luas. Kesempatan ini tidak hanya memperkaya pengalaman, tetapi juga menjadi langkah konkret dalam menumbuhkan kepemimpinan perempuan yang inklusif dan berpengaruh di berbagai bidang,” ujarnya. Mahasiswi Fakultas Ushuluddin (FU), Jurusan Aqidah Filsafat Islam (AFI), semester tiga, Fitri Aditya Putri mengungkapkan, semangat saling mendukung, membantu, dan menguatkan sesama perempuan perlu dijadikan fondasi dalam membangun ketangguhan bersama. Sikap saling menguatkan ini menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang mendorong perempuan terus berkembang dan berdaya. “Kebersamaan dan kolaborasi antarperempuan juga menjadi faktor penting dalam mempercepat terwujudnya Indonesia Emas 2045 yang inklusif dan berkeadilan. Melalui sinergi tersebut, perempuan dapat berkontribusi lebih luas dalam menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan pembangunan nasional,” ungkapnya. (Yuzka Al-Mala)

Integrasikan Kurikulum dengan Dunia Industri, Kemdiktisaintek-Kemnaker Tingkatkan Kualitas Pendidikan Nasional

Wamendiktisaintek Prof. Fauzan dan Wamenaker Immanuel Ebenezer Gerungan. Sumber. bandung.beritaterkini.id Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menjalin kolaborasi strategis untuk memperkuat sinergi antara pendidikan tinggi dan dunia kerja. Langkah ini bertujuan menyiapkan generasi muda Indonesia agar lebih siap menghadapi tantangan dan kebutuhan pasar kerja di masa depan. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), Jurusan Kesejahteraan Sosial (Kessos) semester tujuh, Shopiyana Daulika menuturkan, kolaborasi antara Kemdiktisaintek dengan Kemnaker mencerminkan kepedulian pemerintah terhadap kemajuan generasi muda Indonesia. Sinergi ini menjadi langkah nyata dalam memastikan dunia pendidikan terhubung erat dengan kebutuhan dunia kerja yang terus berkembang. “Melalui integrasi perencanaan pendidikan, penerapan kebijakan berbasis data (data-driven policy), serta pengembangan kurikulum yang adaptif, kolaborasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Upaya ini tidak hanya memperkuat kompetensi mahasiswa, tetapi juga menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan siap menghadapi tantangan masa depan,” tuturnya. Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Jurusan Ilmu Hukum (IH),semester tiga, Firda Isnaini menyampaikan, penguatan kurikulum pendidikan yang terintegrasi dengan praktik kerja lapangan (PKL) merupakan langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Sinergi antara teori dan praktik dinilai penting agar mahasiswa tidak hanya memahami konsep secara akademis, tetapi juga mampu menerapkannya dalam dunia kerja. ,Melalui integrasi yang dilakukan antara Kemdiktisaintek dengan Kemnaker, generasi muda diharapkan memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengembangkan potensi serta membangun karier yang cemerlang di masa depan. Langkah ini menjadi pondasi penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang kompeten dan siap bersaing secara global,” ujarnya. (Yuzka Al-Mala)

DJP Tunda Pajak E-commerce, Menkeu Tunggu Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen

DJP Kemenkeu menunda penerapan pajak bagi pedagang online di e-commerce, menunggu pertumbuhan ekonomi stabil mencapai 6 persen. Sumber. validnews.id Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunda penerapan pajak bagi pedagang online atau merchant di platform e-commerce. Keputusan tersebut diambil atas arahan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menilai kebijakan pajak baru akan diberlakukan setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen dan kondisi ekonomi dinilai lebih stabil serta kondusif. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Hukum Keluarga (HK), semester lima, Shabrina Azkiya Anwar menuturkan, pemerintah perlu mengintegrasikan edukasi pajak secara langsung ke dalam kurikulum perguruan tinggi agar generasi muda lebih memahami pentingnya pajak sejak dini. Sosialisasi juga sebaiknya dilakukan melalui platform digital yang banyak digunakan mahasiswa, seperti webinar interaktif yang dikemas dengan gaya ringan dan tidak terlalu formal. “Kebijakan penundaan pajak memberikan keuntungan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam jangka pendek karena memberi waktu untuk memperkuat bisnis dan meningkatkan daya saing di era digital. Namun, kebijakan tersebut berpotensi memperlambat pendapatan negara. Sebagai generasi muda yang akrab dengan dunia digital dan ekonomi kreatif, mahasiswa masih perlu pendampingan agar lebih siap memahami dan menerapkan edukasi pajak secara komprehensif,” tuturnya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), jurusan Pendidikan Matematika, semester tiga, Radjwa Fathi Faisrame mengatakan, kebijakan pajak terhadap pedagang online kurang tepat. Banyak pelaku UMKM kini tidak hanya berjualan secara offline, tetapi juga aktif di platform digital seperti TikTok dan Shopee yang memerlukan modal serta dukungan keuangan lebih besar untuk meningkatkan penjualan. Jika pertumbuhan ekonomi melambat, kondisi tersebut dapat menghambat perkembangan usaha kecil dan menurunkan daya saing mereka di pasar digital. “Tarif pajak yang tinggi tanpa manfaat nyata justru berpotensi merugikan pedagang. Mahasiswa memiliki peran dalam membantu edukasi pajak, meski keterlibatannya masih terbatas. Meski terasa kurang adil, pedagang online sebaiknya tetap dikenakan pajak agar tercipta keadilan antara pelaku usaha daring dan luring,” ujarnya. (Nadine Fadila Azka)

Pastikan Ketersediaan Bahan Baku dan Legalitas Usaha, Kemenhut Perkuat Tata Kelola Pengolahan Hasil Hutan

Kemenhut memperkuat tata kelola pengolahan hasil hutan melalui kemitraan strategis dengan masyarakat demi keadilan ekonomi dan legalitas usaha. Sumber. antaranews.com Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan komitmennya memperkuat tata kelola pengolahan hasil hutan dengan memastikan ketersediaan bahan baku dan memperkuat rantai pasok. Langkah ini ditempuh untuk mewujudkan keadilan ekonomi, menjamin legalitas usaha, serta menjaga kelestarian lingkungan. Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kemenhut, Erwan Sudaryanto, menyebut penguatan dilakukan melalui kemitraan strategis antara pelaku industri pengolahan hasil hutan (PBPHH) dengan masyarakat atau Kelompok Tani Hutan sebagai pemasok utama bahan baku. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Jurusan Perbandingan Mazhab (PMH), semester tiga, Khairul Aziz mengatakan, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya memahami isu lingkungan, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam melalui kerja sama dengan masyarakat. Salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan ialah membentuk komunitas atau kelompok pendamping di tingkat lokal yang berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian hutan. “Melalui komunitas ini, mahasiswa dapat berkontribusi dengan memberikan edukasi tentang dampak jangka panjang penebangan liar serta mendorong penerapan praktik ramah lingkungan. Keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama reboisasi juga menjadi kunci agar kelestarian sektor kehutanan tetap terjaga, sehingga lingkungan dapat terus memberi manfaat bagi generasi sekarang maupun yang akan datang,” ujarnya. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), semester tiga, Alifah Nadhratunnaim menuturkan, mahasiswa memiliki peran strategis sebagai penyebar pengetahuan dan penggerak kesadaran publik mengenai pentingnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Peran tersebut dapat diwujudkan melalui kampanye dan seminar yang membahas bahaya eksploitasi hutan berlebihan, sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pemanfaatan hasil hutan non-kayu seperti madu dan rotan yang lebih ramah lingkungan. “Selain itu, mahasiswa dapat berkontribusi melalui penelitian dan pengabdian berbasis digital dengan mengembangkan inovasi teknologi hijau serta merancang model ekonomi berkelanjutan. Upaya ini tidak hanya membantu menjaga keseimbangan ekosistem hutan, tetapi juga membuka peluang keuntungan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan,” tuturnya. (Nadine Fadila Azka)

Jelang Hari Santri, Mahasiswa Desak Regulasi untuk Pendidikan Pesantren yang Lebih Demokratis

Jelang Hari Santri, desakan muncul untuk regulasi yang mendukung pendidikan pesantren yang lebih demokratis. Sumber. melihatindonesia.id Menjelang peringatan Hari Santri Nasional, muncul kembali sorotan terhadap isu feodalisme di lingkungan pesantren. Tradisi santri yang menunjukkan kepatuhan kepada kiai dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk ketimpangan relasi kuasa, sementara pihak lain memandangnya sebagai wujud adab dan penghormatan terhadap guru. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) semester tiga, Robiah Al Adawiyah menyampaikan, hubungan antara santri dan kiai di pesantren bukanlah bentuk feodalisme, melainkan tradisi adab dan penghormatan terhadap guru. Menurutnya, sikap tunduk dan sopan santri merupakan wujud ketulusan dalam menuntut ilmu serta penghargaan kepada kiai yang berperan sebagai pembimbing spiritual sekaligus orang tua kedua di lingkungan pesantren. “Hubungan santri dan kiai itu bukan karena kiai lebih tinggi derajatnya, tapi karena kiai dianggap sebagai guru dan pembimbing. Santri tunduk dan sopan bukan karena takut atau terpaksa, melainkan karena keikhlasan menuntut ilmu. Soal isu kiai mencari kekayaan lewat agama juga tidak sepenuhnya benar. Biasanya, honor ceramah hanya bentuk tanda terima kasih dari jamaah, bukan permintaan kiai. Jadi tidak bisa disamaratakan, karena hanya oknum tertentu saja yang mungkin berbuat seperti itu,” ujarnya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), jurusan Ilmu Politik (Ilpol) semester tiga, Achmad Naufal Syakir mengungkapkan, perlu adanya regulasi yang mengatur sistem pendidikan dan budaya di pesantren agar lebih demokratis dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Menurutnya, langkah tersebut penting untuk menjaga nilai-nilai tradisional pesantren tanpa menghilangkan semangat keterbukaan serta partisipasi aktif seluruh elemen di dalamnya. “Diperlukan undang-undang yang meregulasi sistem belajar dan budaya di pesantren agar lebih demokratis. Tujuannya bukan untuk mengubah nilai-nilai pesantren, melainkan memberi ruang bagi santri untuk berpendapat dan berperan dalam proses belajar. Dengan begitu, pesantren dapat mempertahankan tradisinya sekaligus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat,” ujarnya. (Fayruz Zalfa Zahira)

Genap Setahun: Janji 19 Juta Lapangan Kerja Prabowo-Gibran Jadi Pertanyaan Publik

Genap satu tahun memimpin, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dievaluasi terkait capaian dan tantangan kepemimpinan. Sumber. infobanknews.com Pada Seni (20/10), genap satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pada momentum tersebut, janji penciptaan 19 juta lapangan kerja kembali menjadi sorotan publik, karena dinilai belum terealisasi di tengah kesiapan sumber daya manusia yang masih belum merata di berbagai daerah. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) Program Studi Ilmu Hadis (Ilha) semester tiga, Syaikhul Alim menuturkan, janji penciptaan 18 hingga 19 juta lapangan kerja yang digulirkan pada awal pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka belum terealisasi. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran di tengah tingginya angka pengangguran dan banyaknya masyarakat yang bekerja secara seadanya. “Janji 18 atau 19 juta lapangan kerja belum juga terwujud, padahal masyarakat sangat membutuhkan. Akibatnya, sebagian orang memilih jalan pintas demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Pemerintah perlu segera merealisasikan janji itu secara menyeluruh, termasuk bagi mahasiswa keagamaan seperti kami. Jika peluang di dalam negeri terbatas, bisa dilakukan kerja sama dengan negara lain agar sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045,” tuturnya. Salah satu pengamen Warkop Kita, Andi Supardi mengungkapkan, menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, janji penciptaan 19 juta lapangan kerja masih belum terlihat jelas. Persoalan utama dinilai bukan hanya pada ketersediaan pekerjaan, tetapi juga pada rendahnya kesiapan sumber daya manusia di berbagai daerah. “Lapangan kerja sebenarnya banyak, tergantung manusianya mau berusaha atau tidak. Jangan mudah tergiur jalan instan seperti pinjol karena justru merugikan. Pemerintah perlu membuktikan janji kampanye dengan menyalurkan dana ke daerah yang masih tertinggal agar pembangunan bisa merata,” ungkapnya. (Fayruz Zalfa Zahira)

Sasar Pasar Haji dan Umrah, Indonesia Maksimalkan Ekspor Kuliner Khas ke Arab Saudi

Penunaian ibadah umrah. Sumber. bmm.or.id Indonesia tengah meningkatkan ekspor produk makanan nusantara untuk memenuhi kebutuhan jemaah haji dan umrah di Arab Saudi. Upaya ini dilakukan guna memaksimalkan potensi ekonomi yang mencapai lebih dari Rp100 triliun setiap tahun, sekaligus memperkuat kontribusi sektor ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Langkah tersebut juga diharapkan mampu membuka peluang lebih luas bagi pelaku usaha dan UMKM lokal untuk menembus pasar Timur Tengah. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Manajemen Dakwah (MD), semester lima, Fadilah Nur Khasanah mengatakan, kebijakan peningkatan ekspor produk makanan nusantara dapat mendorong pertumbuhan sektor ekonomi sekaligus memperkenalkan kuliner Indonesia ke pasar yang lebih luas, khususnya di Arab Saudi. Ia berharap kebijakan tersebut dapat segera direalisasikan agar memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan citra produk Indonesia di kancah internasional. “Kebijakan ekspor ini mampu memberikan keuntungan bagi berbagai sektor, terutama ekonomi. Selain itu, peningkatan distribusi makanan Indonesia di Arab Saudi juga diharapkan dapat membantu masyarakat Indonesia yang tengah menunaikan ibadah haji dan umrah agar lebih mudah beradaptasi dengan cita rasa nusantara. Misalnya, perbedaan rasa pada produk mi instan antara Indonesia dan Arab dapat disesuaikan agar lebih sesuai dengan selera masyarakat Indonesia di luar negeri,” ucapnya. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) semester lima, Humairoh Azzahra menyampaikan, kebijakan peningkatan ekspor makanan khas Indonesia merupakan langkah positif, mengingat banyak masyarakat Indonesia di Arab Saudi yang menginginkan ketersediaan cita rasa nusantara. Ia menilai, selera masyarakat Arab dan Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda karena keduanya sama-sama menyukai makanan yang kaya rempah. “Salah satu contoh makanan yang cocok untuk diekspor adalah bakso aci, mengingat kondisi cuaca di Madinah yang cenderung dingin. Selain itu, hidangan seperti nasi kuning dan makanan berbumbu lainnya juga berpotensi memperkenalkan kekayaan kuliner Indonesia ke mancanegara. Upaya ini diharapkan tidak hanya meningkatkan popularitas kuliner nusantara, tetapi juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan di dalam negeri,” ujarnya. (Nayla Putri Kamila)

Perkuat Ketahanan Pangan Nasional, Kemendikdasmen Tingkatkan Literasi Pangan Lokal

Kemendikdasmen tingkatkan literasi pangan lokal di sekolah sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional. Sumber. badanbahasa.kemendikdasmen.go.id Penguatan literasi pangan lokal digencarkan sebagai upaya menumbuhkan kesadaran generasi muda terhadap pola makan sehat dan berkelanjutan, sejalan dengan program ketahanan pangan nasional. Gerakan ini menyoroti pentingnya pemahaman pangan dari sisi nilai sosial dan potensi daerah. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyambut langkah tersebut dengan rencana memperkuat literasi pangan di dunia pendidikan melalui penerbitan bahan bacaan, penambahan istilah pangan dalam KBBI, serta kerja sama dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) semester tiga, Khairul Umam menuturkan, pentingnya meningkatkan literasi pangan di kalangan generasi muda agar tidak hanya menilai makanan dari segi rasa dan tren semata. Pemahaman terhadap asal-usul serta nilai sosial pangan lokal dinilai dapat menumbuhkan kesadaran mahasiswa akan potensi daerah sekaligus mendorong kontribusi nyata dalam pengembangan produk masyarakat. “Literasi pangan juga mencakup pemahaman tentang makanan yang baik dikonsumsi dan mana yang sebaiknya dibatasi. Kesadaran ini penting agar generasi muda tumbuh dengan pola makan sehat dan berkelanjutan, sehingga memberi dampak positif bagi generasi berikutnya. Kampus memiliki peran besar dalam mengenalkan literasi pangan, misalnya melalui seminar, proyek sosial, atau kampanye kreatif di media kampus agar isu ini lebih mudah diterima mahasiswa,” tuturnya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), semester tiga, Muhammad Fadhillah Miftah menyampaikan, cara paling efektif mengenalkan literasi pangan kepada anak muda adalah melalui kegiatan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti kampanye kreatif, bazar makanan lokal, atau konten edukatif di media sosial. Literasi pangan dinilai akan lebih mudah diterima jika dikemas secara ringan dan menarik, bukan melalui pendekatan yang terlalu formal. “Mahasiswa bisa mulai dari hal sederhana, seperti membeli produk lokal, ikut mempromosikan UMKM daerah, atau membuat konten seputar pangan sehat dan produk Indonesia di media sosial. Dengan begitu, isu pangan tidak hanya menjadi wacana, tetapi dapat berkembang menjadi gerakan nyata di lingkungan kampus yang seru, relevan, dan berdampak langsung bagi masyarakat,” ujarnya. (Fayruz Zalfa Zahira)

Perkuat Kepercayaan Publik, Jaksa Agung Tegaskan Pentingnya Adaptasi Budaya

Jaksa Agung menegaskan pentingnya adaptasi budaya di kejaksaan sebagai kunci untuk memperkuat kepercayaan publik. kejaksaan.go.id Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan pentingnya adaptasi budaya bagi para jaksa agar mampu menjadi insan Adhyaksa yang humanis dan adaptif. Upaya ini dinilai penting untuk membentuk jaksa yang tidak hanya cerdas dan profesional, tetapi juga memahami konteks sosial serta budaya masyarakat tempat mereka bertugas. Adaptasi budaya mencakup kemampuan memahami bahasa daerah, membangun kepercayaan publik, dan menyampaikan pesan hukum secara efektif. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Ilmu Hukum (IH), semester lima, Tiara Refani Junior menuturkan, pentingnya kemampuan jaksa beradaptasi dengan budaya setempat, terutama saat bertugas di luar daerah asal. Menurutnya, pemahaman terhadap budaya lokal menjadi kunci karena hukum bersifat dinamis dan harus hidup di tengah masyarakat agar dapat diterapkan secara efektif. Ketidakmampuan beradaptasi dengan hukum yang berlaku, termasuk hukum adat, berpotensi menimbulkan konflik dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. “Sebagai mahasiswa hukum, penting memahami bagaimana hukum tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, baik dari sisi sosial maupun norma yang melingkupinya. Pemahaman terhadap antropologi dan sosiologi juga menjadi bagian penting agar calon penegak hukum mampu menafsirkan hukum berdasarkan konteks sosial yang melatarinya,” tuturnya. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Jurnalistik, semester lima, Firman Fathur Rahman mengungkapkan pentingnya bagi jaksa memahami nilai-nilai budaya di wilayah tempat bertugas. Sebelum hukum negara diberlakukan, masyarakat telah memiliki hukum adat yang menjadi pedoman, sehingga pemahaman terhadap budaya lokal dapat membantu jaksa menghindari konflik dan menjalankan tugas dengan bijak. “Sebagai mahasiswa, perlu membiasakan diri membaca dan mengikuti perkembangan berita untuk menambah wawasan serta kepedulian terhadap kondisi negara. Mahasiswa juga sebaiknya berperan aktif menyuarakan pendapat, misalnya melalui tulisan opini di media sosial,” ungkapnya. (Nadine Fadila Azka)