Fenomena Aksi Santri: Menguji Keseimbangan Media dan Pentingnya Literasi Publik
Aksi santr menguji keseimbangan media dan menyoroti pentingnya literasi publik dalam menyikapi pemberitaan. Sumber. radarjember.jawapos.com Balamuda ngerasa nggak sih, akhir-akhir ini aksi masyarakat, terutama santri, makin sering muncul di media sosial? Ternyata, fenomena tersebut jadi sorotan karena para peserta aksi ingin menekankan pentingnya liputan media yang adil dan berimbang. Tapi kalau dipikir-pikir, kira-kira ini kesalahan siapa sih? Yuk, kita bahas bareng-bareng. Beberapa hari terakhir, aksi santri terjadi di berbagai kota. Para peserta membawa poster dan spanduk, bahkan beberapa membuat konten di media sosial untuk menyuarakan aspirasinya. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kini mulai aktif mengawasi media, bukan hanya sebagai penonton berita, tapi juga sebagai pengawas kritis. Aksi ini berlangsung damai dan tertib, meski tetap menarik perhatian warga sekitar. Banyak orang berhenti sejenak untuk melihat jalannya aksi, sementara sebagian orang mengabadikan momen lewat sosial media. Interaksi ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai peduli dengan isu yang diangkat. Selain itu, aksi ini memicu diskusi publik di berbagai platform, mulai dari grup WhatsApp, Twitter, sampai forum komunitas. Banyak orang ikut memberikan opini, kritik, atau dukungan, sehingga isu yang awalnya hanya berita lokal bisa jadi sorotan nasional. Bahkan, beberapa komunitas lain yang awalnya tidak terlibat juga ikut mempertimbangkan sikap mereka terhadap media dan liputan berita. Kalau dipikir-pikir, masalah yang muncul sebenarnya berlapis. Di satu sisi, media dianggap kurang berimbang dalam liputan dan menimbulkan salah paham di masyarakat. Dan di sisi lain, aksi santri yang viral juga menjadi sorotan karena bisa menimbulkan persepsi berbeda di publik. Jadi sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan salah satu pihak aja, tapi.. soal kurangnya komunikasi dan kesadaran masing-masing pihak. Media perlu memahami dampak liputan yang diangkat, sementara publik, termasuk santri, perlu menyampaikan kritik dengan cara yang konstruktif dan damai. Menurut berbagai sumber, aksi tersebut mencerminkan hubungan yang erat antara masyarakat dan media. Media harus lebih berhati-hati dalam memilih sudut pandang berita dan menyajikan informasi secara akurat dan berimbang. jika sebuah isu sensitif diberitakan, media sebaiknya menampilkan semua sisi cerita, sesuai data, bukan hanya satu pihak. Supaya tidak menimbulkan salah paham atau konflik di masyarakat. Dalam konteks antri dan publik, tindakan yang bijak juga sangat penting. Kritik harus disampaikan dengan cara yang jelas, tertib, dan tetap menghargai pihak media. Menggunakan jalur yang sah dan etis, seperti mengirim surat resmi, dialog terbuka, atau memanfaatkan platform sosial media untuk edukasi publik, bisa membuat tuntutan lebih efektif dan diterima tanpa menimbulkan ketegangan atau kericuhan yang dapat memecah belah pihak lain. Fenomena tersebut juga menyoroti pentingnya literasi media. Masyarakat dinilai mampu menilai mana informasi yang faktual dan mana yang berpotensi bias. Sementara media harus sadar bahwa liputannya bisa berdampak luas, terutama jika menyangkut kelompok sensitif seperti santri atau komunitas tertentu. Dengan kesadaran ini, harapannya hubungan antara media dan publik bisa lebih sehat dan konstruktif. Nah, Balamuda sendiri gimana? Setuju nggak kalau media harus lebih berhati-hati dalam liputan, dan masyarakat juga bisa menyuarakan pendapat tapi tetap dengan cara yang bijak? Fenomena ini jelas menunjukkan kalau tanggung jawab menyajikan dan menerima informasi itu bukan hanya di media, tapi juga ada di tangan masyarakat. Harapannya dengan adanya aksi seperti ini, masyarakat semakin sadar hak mereka untuk mendapatkan informasi yang adil, dan media semakin memahami tanggung jawab serta mengedepankan kode etik jurnalistik, semoga persoalan ini dapat terselesaikan secara damai dengan mengutamakan nilai-nilai sosial. (Maura Maharani Rizky)