
Salah satu MBG basi yang ditemukan Badan Pengelola Obat dan Makanan (BPOM) sebelum didistribusikan. Sumber. VOI
Balamuda, pasti gak asing lagi dengan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) untuk para siswa. Meskipun program MBG di sekolah-sekolah sering dibilang sebagai cara untuk meningkatkan gizi dan kesejahteraan siswa, kenyataannya seringkali jauh dari harapan. Janji tentang makanan yang sehat dan berkualitas memang terdengar menarik, tapi yang terjadi di lapangan sering kali membuat kecewa. Mulai dari menu yang itu-itu saja dan gak seimbang, sampai ada kasus makanan basi yang bisa membahayakan kesehatan siswa.
Belum lagi, masalah pengadaan makanan yang sering terjerat isu korupsi dan penyalahgunaan anggaran bikin kualitas makanan jadi jauh dari yang seharusnya. Ditambah lagi, distribusi yang terlambat dan logistik yang berantakan membuat siswa harus menunggu lama untuk dapat makan siang mereka. Dengan semua masalah ini, timbul pertanyaan penting: apakah program ini beneran untuk kesejahteraan siswa, atau cuma sekadar formalitas dan pencitraan? Yuk, kita bahas satu per satu!
Kualitas Makanan yang Rendah
Salah satu masalah besar yang sering muncul dalam program MBG di sekolah adalah kualitas makanan yang disajikan. Banyaknya laporan yang menyebutkan bahwa makanan tersebut sering kali kurang memuaskan, dengan bahan-bahan yang tidak segar atau bahkan kadang sudah tidak layak untuk dimakan. Sebagai contoh nyata, tujuh siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Banaran 1 di Nganjuk mengalami keracunan makanan karena makanan yang basi atau terkontaminasi. Dalam sebuah video, beberapa siswa SD bahkan mengungkapkan bahwa makanan itu terasa aneh dan tidak mau menghabiskannya. Ini jelas jadi perhatian serius, karena bukan hanya soal rasa, tapi juga kesehatan siswa yang jadi taruhannya.
Ketidakseimbangan Gizi dalam Menu Makanan
Program MBG di sekolah memiliki masalah signifikan, yaitu kandungan gizi yang kurang memadai. Makanan yang disajikan sering tidak memenuhi kebutuhan gizi seimbang, padahal tujuan program ini seharusnya untuk meningkatkan kesehatan dan konsentrasi siswa. Banyak menu yang hanya tinggi karbohidrat tetapi rendah protein dan vitamin, sehingga siswa tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh dan belajar dengan baik.
Terdapat video candaan siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Kota Bogor, yang menunjukkan menu makan siang gratisnya hanyalah susu, kangkung dan semangka. Hal ini menunjukkan bahwa makanan yang disediakan tidak hanya kurang bergizi, tetapi juga kurang menarik bagi siswa. Ini jelas menjadi masalah, karena makanan seharusnya mendukung kegiatan sehari-hari siswa, bukan membuat mereka lesu dan kurang fokus.
Penyalahgunaan Anggaran dan Tindakan Korupsi
Dana yang seharusnya digunakan untuk menyediakan makanan berkualitas sering kali diselewengkan oleh oknum tertentu, sehingga kualitas makanan yang diterima siswa menurun. Banyaknya pihak yang mewanti-wanti akan tindakan ini, menunjukan bahwa uang yang seharusnya digunakan untuk membeli bahan segar malah dipakai untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, siswa tidak mendapatkan makanan yang layak, dan tujuan program untuk mendukung kesehatan mereka pun gagal. Situasi ini jelas akan menjadi masalah serius yang harus segera diatasi agar siswa dapat menerima makanan yang benar-benar bermanfaat bagi mereka.
Sistem Distribusi dan Logistik yang Lemah
Masalah distribusi makanan ke sekolah-sekolah sering mengalami kendala, seperti keterlambatan atau ketidakmerataan distribusi yang menyebabkan beberapa siswa tidak mendapatkan makanan tepat waktu. Di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 Garut, siswa terpaksa menunggu hingga 1,5 jam untuk paket makan siang gratis, yang membuat mereka merasa lemas dan pucat. Keterlambatan ini disebabkan oleh kendala teknis dalam distribusi, sehingga banyak siswa yang merasakan lapar dan harus menunda jam pulang sekolah hingga makanan tiba sekitar pukul 2 siang.
Resistensi Orang Tua
Beberapa orang tua merasa bisa memberikan makanan yang lebih baik dan sesuai untuk anak-anak mereka dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh program MBG di sekolah. Sejumlah orang tua siswa di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluhkan program ini karena dianggap menyediakan makanan dengan aroma tidak sedap. Mereka percaya bahwa mereka dapat menyajikan pilihan makanan yang lebih baik untuk anak-anak mereka daripada apa yang disajikan di sekolah. Akibatnya, muncul protes dari orang tua yang merasa program ini tidak memberikan manfaat yang cukup bagi anak-anak mereka.
Ketidakmerataan dalam Penerapan
Ketidakadilan dalam pelaksanaan program ini menjadi sorotan, terutama terkait dengan penerapannya yang tidak merata di berbagai sekolah. Terdapat kekhawatiran bahwa beberapa daerah mendapatkan akses ke makanan yang berkualitas lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Sebagai ilustrasi, sekolah-sekolah yang terletak di daerah terpencil sering kali menerima makanan dengan kualitas dan jumlah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan sekolah-sekolah di kawasan perkotaan.
Jadi, gimana menurut Balamuda?. Apakah seharusnya kita terus mengadvokasi hak anak-anak untuk mendapatkan makanan bergizi gratis, atau lebih baik kita beradaptasi dengan keadaan yang ada?
(Gisska Putri Hidayat)