
Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap jurnalis kian meningkat seiring menurunnya pendapatan media yang selama ini digunakan untuk membayar gaji karyawan. Kondisi ini membuat banyak jurnalis kehilangan pekerjaan dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Ironisnya, di tengah era digital yang semestinya membuka ruang lebih luas bagi jurnalis untuk menyuarakan kepentingan publik, justru banyak dari mereka yang terpaksa harus meninggalkan profesinya.
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Hukum Tata Negara (HTN), semester sepuluh, Muhammad Rosid menyampaikan, efisiensi anggaran tidak seharusnya mengakibatkan pengurangan jumlah jurnalis. Jurnalis memegang peran strategis dalam menjaga kestabilan politik dan kelangsungan demokrasi di Indonesia.
“Pengalokasian efisiensi anggaran perlu ditinjau ulang agar tidak menyasar elemen-elemen yang berdampak langsung pada masyarakat luas, termasuk industri pers. Langkah ini penting untuk memastikan keberlangsungan fungsi jurnalistik yang vital bagi transparansi dan akuntabilitas pemerintah serta kehidupan sosial,” ucapnya.
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Jurnalistik, semester empat, Muhammad Fathan Sahl mengungkapkan, tren pemutusan hubungan kerja terhadap jurnalis sebagai kondisi yang sangat memprihatinkan. Jurnalis memegang peran krusial dalam menyuarakan aspirasi masyarakat, menjaga stabilitas demokrasi, menyampaikan informasi publik yang akurat, serta mendorong perubahan sosial melalui liputan yang meningkatkan kesadaran dan akuntabilitas berbagai pihak.
“Salah satu faktor penyebab meningkatnya PHK tersebut adalah kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh perusahaan media. Dampak dari kebijakan ini membuat banyak media tidak mampu lagi menggaji jurnalis dalam jumlah besar, sehingga kondisi tersebut menjadi konsekuensi merugikan yang dirasakan oleh industri pers secara keseluruhan,” ungkapnya.