RDK FM

Pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) di Tingkat Sekolah. Sumber. CNN Indonesia


Pada Rabu (01/01), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Mu’ti menegaskan, terdapat perbedaan jenis antara Ujian Nasional (UN) di masa lalu dan masa mendatang. Sebetulnya, kebijakan secara konsep telah selesai, tetapi di 2025 ini belum belum dilaksanakan. Selain itu, UN kini sudah diganti dengan Asesmen Nasional (AN). Meskipun sistem berganti, keduanya tetap sebagai alat ukur capaian akademis siswa di tingkat nasional. Hanya saja, UN lebih menekankan hasil evaluasi per individu sehingga menentukan kelulusan. 

Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), jurusan Pendidikan Matematika, semester lima, Muhammad Arif Saefulloh mengungkapkan, ujian berbasis kompetensi untuk siswa SMA sangat penting, sebab memberikan penilaian yang merata terhadap kompetensi siswa. Sebelumnya, UN lebih mengacu pada nilai kognitif, sehingga kampus dapat menilai kemampuan siswa lebih jelas.

“Dengan pengembalian UN dan sistem yang berbeda dari tahun sebelumnya, hal ini sebaiknya dirancang oleh guru-guru profesional yang memiliki keahlian di bidangnya. Para guru harus bekerja sama secara nasional untuk membuat soal-soal ujian yang berkualitas yang akan disebarluaskan kepada siswa. Hal ini dapat menjadi tolak ukur penilaian kompetensi siswa menjadi lebih akurat dan relevan,” ungkapnya 

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, semester tiga, Ihsanu Laskar Kaputra menuturkan, secara konsep, Asesmen Nasional (AN) tidak hanya mengukur hasil belajar siswa dalam mata pelajaran tertentu, tetapi juga menilai kompetensi dasar yang lebih luas, termasuk literasi dan numerasi. 

“Salah satu dampak positif dari ujian berbasis kompetensi adalah memacu siswa untuk giat belajar. Saat ini, banyak siswa yang cenderung malas belajar karena mereka tahu bahwa meskipun nilainya jelek, mereka tetap bisa naik kelas.  Selain itu, sistem perangkingan juga dapat menjadi dorongan tambahan, meski perlu mempertimbangkan bahwa tekanan yang berlebihan dapat membuat siswa merasa stres,” tuturnya.

(Azaria Suci Fernada)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *