RDK FM

Perusaahan Sritex yang Resmi Pailit. Sumber. Sritex


Pada Rabu (30/10), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait utang 100 miliar yang dimiliki perusahaan Sritex. Beliau menyebut, bahwa perusahaan tekstil besar ini tampak menyepelekan beban utang tersebut. Pernyataan ini diungkapkan dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, sehingga memicu pertanyaan mengenai dampak finansial potensial bagi sektor industri tekstil secara umum, khususnya dalam ketidakpastian ekonomi yang meningkat.

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), jurusan Akuntansi, semester lima, Anisa Rahma Ramadhani mengatakan, pernyataan Menteri Ketenagakerjaan seharusnya dipahami dalam konteks yang lebih luas. Menurutnya, utang dalam bisnis, terutama bagi perusahaan besar seperti Sritex, sering kali merupakan bagian dari strategi pertumbuhan yang lebih besar. Sritex sendiri memiliki rekam jejak yang baik dalam pengelolaan keuangan dan menjaga stabilitas arus kas meski dihadapkan pada tantangan ekonomi.

“Pandangan bahwa utang ini berpotensi fatal mengabaikan manajemen risiko yang telah diterapkan perusahaan. Dengan pengelolaan yang baik, utang bisa menjadi alat efektif untuk memperkuat posisi pasar dan meningkatkan daya saing. Karena itu, dampak negatif utang ini sebaiknya ditinjau lebih mendalam, dan tidak hanya dilihat dari sisi nominalnya saja tanpa mempertimbangkan strategi dan potensi perusahaan,” tuturnya.

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), semester lima, Syaikal Fathan Muzzaki menuturkan, sebagai salah satu perusahaan tekstil terkemuka, Sritex memiliki tanggung jawab bukan hanya kepada pemegang saham, tetapi juga kepada karyawan dan masyarakat. Menurutnya, apabila utang tidak dikelola dengan baik, dampaknya dapat merugikan banyak pihak, termasuk penurunan lapangan kerja dan pengaruh terhadap rantai pasokan.

“Dalam konteks ini, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan utang menjadi sangat penting. Perusahaan harus memberikan informasi jelas terkait rencana pembayaran dan strategi pengelolaan utang agar tidak meningkatkan kekhawatiran stakeholder. Langkah proaktif diperlukan untuk memastikan stabilitas dan keberlanjutan perusahaan di masa mendatang. Hal ini perlu dilihat sebagai dorongan untuk evaluasi mendalam terhadap kebijakan keuangan perusahaan,” pungkasnya.

(Asy Syifa Salsabila)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *