Penyuluhan Cegah Kekeraasan Gender Berbasis Online Via Zoom oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPA). Sumber. aptika.kominfo.go.id
Pada Triwulan I 2024, Korban Kekerasan berbasis Gender Online (KGBO) mencapai 480 kasus, hal tersebut berarti meningkat empat kali lipat dibanding tahun 2023 dengan triwulan yang sama, yakni 118 kasus. Dari jumlah tersebut, 480 kasus adalah yang terdata dan masih banyak lagi kasus yang tidak terdata. Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menyatakan, bahwa KGBO semakin marak terjadi dan sebagian besar menyerang perempuan.
Duta Genre Provinsi Banten tahun 2024, Muhammad Lazuardi Naftali menyatakan, saat ini sedang marak terjadi tindakan KGBO, dimana image abuse dan revenge porn adalah contoh kecil yang marak terjadi di media sosial. KGBO lebih mengerikan dari apa yang dibayangkan karena sangat banyak manipulasi didalamnya.
“Banyak dari korban yang tidak berani melaporkan pelaku tindak KGBO karena menganggap bahwa menjadi korban adalah aib yang harus ditutup. Website dan aplikasi yang mendukung tindak KGBO masih banyak beredar di dunia maya. Seharusnya ada tindakan tegas oleh pemerintah dalam menekan dan memberantas KGBO. Perlu diterapkannya prinsip “No Face No Case” untuk menjadi salah satu cara agar terhindar dari tindak KGBO tersebut,” tuturnya.
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), semester empat, Mohammad Gufron menjelaskan, hindari berhubungan sebelum menikah dan tidak membuat video untuk menghindari KGBO. Peningkatan empat kali lipat dari tahun 2023 sangat disayangkan, sebab menandakan kurangnya kontrol orang tua dan peran pemerintah dalam menindak KGBO.
“Pergaulan bebas menjadi salah satu pemicu sehingga menimbulkan peningkatan yang drastis. Pendidikan menjadi kunci untuk mengurangi dan menekan karena dapat memberikan edukasi bagi masyarakat khususnya wanita agar dapat terhindar dari hal tersebut. Efek domino dari banyak korban, yakni psikologis, banyak yang takut untuk melaporkan karena sering dianggap sebagai sebuah aib yang harus ditutup. Hal ini akan mengganggu dalam sisi psikologis,” jelasnya.
(Rayhan Anugerah Ramadhan)