
Berlangsungnya rapat terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Sumber. nasional.kompas.com
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menuai sorotan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), khususnya pasal yang melarang siaran langsung persidangan. Berbagai kalangan khawatir bahwa larangan ini akan mengurangi transparansi peradilan dan membatasi pemahaman masyarakat tentang sistem hukum. Meskipun ada kekhawatiran tentang penyalahgunaan siaran, banyak yang berpendapat bahwa siaran langsung dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Jurnalistik, semester empat, Muhammad Salman Alfarisi mengungkapkan, kebijakan larangan siaran langsung persidangan mendapat respons negatif dari mahasiswa. Masyarakat dan mahasiswa menjadi kehilangan akses langsung untuk memahami praktik hukum secara nyata. Siaran langsung merupakan kegiatan penting karena dapat memberikan pemahaman kontekstual tentang proses persidangan yang tidak bisa diperoleh dari sumber lain.
“Larangan siaran langsung dapat mengakibatkan potensi penyalahgunaan seperti pemelintiran fakta, namun hal ini dapat diatasi dengan pengawasan media, penundaan siaran, atau pembatasan pada kasus sensitif. Sarannya, agar pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut dan mencari jalan tengah yang menjaga transparansi namun tetap melindungi integritas persidangan,” ungkapnya.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), jurusan Sosiologi, semester empat, Richelle Ilona Fabiany menuturkan, siaran langsung merupakan cara efektif bagi publik, termasuk mahasiswa hukum, untuk belajar dan memahami hukum yang berlaku. Dampaknya sangat terasa di lingkungan mahasiswa karena mereka kehilangan akses untuk pembelajaran real-time.
“Meskipun potensi negatif ada, solusi seperti membuat filter untuk bagian sensitif atau mengontrol video terkait dapat diterapkan. Harapannya, agar pemerintah membuat undang-undang yang lebih terbuka sehingga dapat dikritik, terutama oleh akademisi dan masyarakat hukum,” tuturnya.
(Nayla Putri Kamila)