RDK FM

Bus Listrik UIN Jakarta yang sedang beroperasi menaikkan dan menurunkan penumpang tanpa Stop Bus yang pasti.


Balamuda, meskipun kampus UIN Jakarta terus mengklaim berusaha meningkatkan fasilitas demi kenyamanan mahasiswa, kenyataannya sering kali kita menemukan realitas yang jauh dari ekspektasi. Slogan dan janji manis tentang peningkatan fasilitas kampus terdengar menggugah, namun apa yang kita rasakan di lapangan kerap kali berbeda. Mulai dari pengadaan bus listrik yang lebih mirip kereta wisata, program green campus yang memaksa untuk memarkir kendaraan di tempat yang belum siap, hingga kondisi fasilitas yang memprihatinkan, seperti lift rusak, AC tua, dan ruang kelas yang tidak memadai.

Tidak ketinggalan, pemasangan guiding block yang terkesan hanya formalitas akreditasi, tanpa benar-benar memperhatikan kebutuhan mahasiswa difabel. Dengan semua ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah kenyamanan mahasiswa benar-benar menjadi prioritas, atau hanya sekedar “akreditasi di atas segalanya”? Mari kita telusuri satu per satu.

1. Pengadaan Bus Listrik (Bilis): Lebih Mirip Kereta Wisata, Bukan Transportasi Kampus

UIN Jakarta memperkenalkan Bus Listrik (Bilis) sebagai langkah menuju kampus yang lebih ramah lingkungan. Tapi, Balamuda, siapa sangka solusi transportasi ini justru memunculkan masalah baru. Hanya ada tiga unit bus yang dioperasikan, yang lebih cocok disebut sebagai kereta wisata alih-alih alat transportasi kampus. Hal ini tentu tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang mencapai ribuan.

Lebih parah lagi, tidak ada halte yang pasti untuk tempat berhenti. Halte utama yang direncanakan masih dalam tahap pembangunan, sementara bus sudah mulai beroperasi. Akibatnya, mahasiswa sering kali harus bertaruh dengan waktu dan keberuntungan untuk naik bus. Alih-alih mengurangi jejak karbon, Bilis malah menjadi simbol betapa tergesa-gesanya perencanaan fasilitas ini.

2. Wacana Green Campus: Makin Hijau, Makin Jauh dari Kampus

Program Green Campus menjadi salah satu kebanggaan UIN Jakarta. Namun, di balik narasi “kampus hijau,” mahasiswa justru dihadapkan pada kebijakan yang menyulitkan. Salah satunya adalah pengalihan area parkir kendaraan ke lapangan Triguna. Lapangan ini, yang masih dalam proses pembangunan, kini menjadi tempat parkir kendaraan kita. Namun, Balamuda, apa yang kita dapatkan di sana?

Lapangan ini tidak memiliki atap untuk melindungi kendaraan dari hujan dan panas. Kalau Balamuda ingin memarkir kendaraan di sana, pastikan membawa jas hujan untuk kendaraan juga. Sebagai tambahan, toilet yang tersedia di lokasi ini ternyata tidak gratis, padahal seharusnya menjadi fasilitas penunjang kampus. Kebijakan ini membuat kita bertanya-tanya: apakah green campus berarti hijau di atas kertas saja, sementara kenyamanan mahasiswa diabaikan?

3. Fasilitas Rusak: Lift Mati, AC Bersejarah, dan Kelas yang Tak Pernah Cukup

Balamuda, kita pasti pernah mendengar cerita tentang lift yang sering mati di gedung-gedung kampus. Tidak hanya lift, AC di ruang kelas pun sering kali lebih cocok disebut artefak sejarah daripada alat pendingin. Suhu ruang kelas yang panas tidak hanya mengurangi konsentrasi, tapi juga membuat perkuliahan terasa lebih berat.

Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya ruang kelas yang layak. Di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, mahasiswa harus belajar di bekas perpustakaan karena keterbatasan ruang. Beberapa fakultas lain juga mengalami masalah serupa, memaksa mahasiswa untuk berpindah-pindah tempat demi mengikuti kuliah. Mungkin kampus ingin mengajarkan kita tentang fleksibilitas, ya?

4. Guiding Block: Untuk Akreditasi, Bukan Kawan-Kawan Disabilitas

Terakhir, mari kita bahas pemasangan guiding block di kampus. Guiding block ini seharusnya membantu mahasiswa difabel untuk bergerak dengan lebih mudah di lingkungan kampus. Namun, realitanya, guiding block ini terkesan dipasang hanya untuk memenuhi syarat akreditasi. Sebelumnya, guiding block bahkan tidak ada di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Setelah dipasang, kita masih belum melihat upaya nyata untuk memastikan aksesibilitas bagi mahasiswa difabel. Masalah ini menunjukkan betapa seringnya kebijakan kampus lebih berorientasi pada penampilan dibandingkan fungsi sebenarnya.

Balamuda, dengan segala kendala yang kita alami, sulit rasanya untuk tidak mempertanyakan prioritas kampus kita. Apakah kenyamanan mahasiswa menjadi tujuan utama, atau hanya sekedar cara untuk meraih akreditasi dan pengakuan? Kita sebagai mahasiswa tentu berharap bahwa setiap kebijakan dan fasilitas yang diberikan benar-benar dirancang untuk mendukung proses belajar dan keseharian kita.

Namun, realitanya sering kali berbicara lain. Ketergesa-gesaan dalam perencanaan, minimnya perhatian terhadap kebutuhan mahasiswa, dan fokus berlebihan pada pencitraan menjadi masalah yang terus berulang. Jika UIN Jakarta ingin benar-benar menjadi kampus yang nyaman dan ramah bagi seluruh mahasiswanya, langkah-langkah yang lebih konkret dan terencana jelas diperlukan.

Bagaimana menurut Balamuda? Apakah kita harus terus bersuara untuk perubahan, atau hanya pasrah menerima keadaan?.

(Rayhan Anugerah Ramadhan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *