DJP Tunda Pajak E-commerce, Menkeu Tunggu Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen
DJP Kemenkeu menunda penerapan pajak bagi pedagang online di e-commerce, menunggu pertumbuhan ekonomi stabil mencapai 6 persen. Sumber. validnews.id Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunda penerapan pajak bagi pedagang online atau merchant di platform e-commerce. Keputusan tersebut diambil atas arahan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menilai kebijakan pajak baru akan diberlakukan setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen dan kondisi ekonomi dinilai lebih stabil serta kondusif. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Hukum Keluarga (HK), semester lima, Shabrina Azkiya Anwar menuturkan, pemerintah perlu mengintegrasikan edukasi pajak secara langsung ke dalam kurikulum perguruan tinggi agar generasi muda lebih memahami pentingnya pajak sejak dini. Sosialisasi juga sebaiknya dilakukan melalui platform digital yang banyak digunakan mahasiswa, seperti webinar interaktif yang dikemas dengan gaya ringan dan tidak terlalu formal. “Kebijakan penundaan pajak memberikan keuntungan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam jangka pendek karena memberi waktu untuk memperkuat bisnis dan meningkatkan daya saing di era digital. Namun, kebijakan tersebut berpotensi memperlambat pendapatan negara. Sebagai generasi muda yang akrab dengan dunia digital dan ekonomi kreatif, mahasiswa masih perlu pendampingan agar lebih siap memahami dan menerapkan edukasi pajak secara komprehensif,” tuturnya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), jurusan Pendidikan Matematika, semester tiga, Radjwa Fathi Faisrame mengatakan, kebijakan pajak terhadap pedagang online kurang tepat. Banyak pelaku UMKM kini tidak hanya berjualan secara offline, tetapi juga aktif di platform digital seperti TikTok dan Shopee yang memerlukan modal serta dukungan keuangan lebih besar untuk meningkatkan penjualan. Jika pertumbuhan ekonomi melambat, kondisi tersebut dapat menghambat perkembangan usaha kecil dan menurunkan daya saing mereka di pasar digital. “Tarif pajak yang tinggi tanpa manfaat nyata justru berpotensi merugikan pedagang. Mahasiswa memiliki peran dalam membantu edukasi pajak, meski keterlibatannya masih terbatas. Meski terasa kurang adil, pedagang online sebaiknya tetap dikenakan pajak agar tercipta keadilan antara pelaku usaha daring dan luring,” ujarnya. (Nadine Fadila Azka)
Pastikan Ketersediaan Bahan Baku dan Legalitas Usaha, Kemenhut Perkuat Tata Kelola Pengolahan Hasil Hutan
Kemenhut memperkuat tata kelola pengolahan hasil hutan melalui kemitraan strategis dengan masyarakat demi keadilan ekonomi dan legalitas usaha. Sumber. antaranews.com Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan komitmennya memperkuat tata kelola pengolahan hasil hutan dengan memastikan ketersediaan bahan baku dan memperkuat rantai pasok. Langkah ini ditempuh untuk mewujudkan keadilan ekonomi, menjamin legalitas usaha, serta menjaga kelestarian lingkungan. Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kemenhut, Erwan Sudaryanto, menyebut penguatan dilakukan melalui kemitraan strategis antara pelaku industri pengolahan hasil hutan (PBPHH) dengan masyarakat atau Kelompok Tani Hutan sebagai pemasok utama bahan baku. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Jurusan Perbandingan Mazhab (PMH), semester tiga, Khairul Aziz mengatakan, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya memahami isu lingkungan, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga kelestarian alam melalui kerja sama dengan masyarakat. Salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan ialah membentuk komunitas atau kelompok pendamping di tingkat lokal yang berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian hutan. “Melalui komunitas ini, mahasiswa dapat berkontribusi dengan memberikan edukasi tentang dampak jangka panjang penebangan liar serta mendorong penerapan praktik ramah lingkungan. Keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama reboisasi juga menjadi kunci agar kelestarian sektor kehutanan tetap terjaga, sehingga lingkungan dapat terus memberi manfaat bagi generasi sekarang maupun yang akan datang,” ujarnya. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI), semester tiga, Alifah Nadhratunnaim menuturkan, mahasiswa memiliki peran strategis sebagai penyebar pengetahuan dan penggerak kesadaran publik mengenai pentingnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Peran tersebut dapat diwujudkan melalui kampanye dan seminar yang membahas bahaya eksploitasi hutan berlebihan, sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pemanfaatan hasil hutan non-kayu seperti madu dan rotan yang lebih ramah lingkungan. “Selain itu, mahasiswa dapat berkontribusi melalui penelitian dan pengabdian berbasis digital dengan mengembangkan inovasi teknologi hijau serta merancang model ekonomi berkelanjutan. Upaya ini tidak hanya membantu menjaga keseimbangan ekosistem hutan, tetapi juga membuka peluang keuntungan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan,” tuturnya. (Nadine Fadila Azka)
Jelang Hari Santri, Mahasiswa Desak Regulasi untuk Pendidikan Pesantren yang Lebih Demokratis
Jelang Hari Santri, desakan muncul untuk regulasi yang mendukung pendidikan pesantren yang lebih demokratis. Sumber. melihatindonesia.id Menjelang peringatan Hari Santri Nasional, muncul kembali sorotan terhadap isu feodalisme di lingkungan pesantren. Tradisi santri yang menunjukkan kepatuhan kepada kiai dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk ketimpangan relasi kuasa, sementara pihak lain memandangnya sebagai wujud adab dan penghormatan terhadap guru. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) semester tiga, Robiah Al Adawiyah menyampaikan, hubungan antara santri dan kiai di pesantren bukanlah bentuk feodalisme, melainkan tradisi adab dan penghormatan terhadap guru. Menurutnya, sikap tunduk dan sopan santri merupakan wujud ketulusan dalam menuntut ilmu serta penghargaan kepada kiai yang berperan sebagai pembimbing spiritual sekaligus orang tua kedua di lingkungan pesantren. “Hubungan santri dan kiai itu bukan karena kiai lebih tinggi derajatnya, tapi karena kiai dianggap sebagai guru dan pembimbing. Santri tunduk dan sopan bukan karena takut atau terpaksa, melainkan karena keikhlasan menuntut ilmu. Soal isu kiai mencari kekayaan lewat agama juga tidak sepenuhnya benar. Biasanya, honor ceramah hanya bentuk tanda terima kasih dari jamaah, bukan permintaan kiai. Jadi tidak bisa disamaratakan, karena hanya oknum tertentu saja yang mungkin berbuat seperti itu,” ujarnya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), jurusan Ilmu Politik (Ilpol) semester tiga, Achmad Naufal Syakir mengungkapkan, perlu adanya regulasi yang mengatur sistem pendidikan dan budaya di pesantren agar lebih demokratis dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Menurutnya, langkah tersebut penting untuk menjaga nilai-nilai tradisional pesantren tanpa menghilangkan semangat keterbukaan serta partisipasi aktif seluruh elemen di dalamnya. “Diperlukan undang-undang yang meregulasi sistem belajar dan budaya di pesantren agar lebih demokratis. Tujuannya bukan untuk mengubah nilai-nilai pesantren, melainkan memberi ruang bagi santri untuk berpendapat dan berperan dalam proses belajar. Dengan begitu, pesantren dapat mempertahankan tradisinya sekaligus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat,” ujarnya. (Fayruz Zalfa Zahira)
Genap Setahun: Janji 19 Juta Lapangan Kerja Prabowo-Gibran Jadi Pertanyaan Publik
Genap satu tahun memimpin, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dievaluasi terkait capaian dan tantangan kepemimpinan. Sumber. infobanknews.com Pada Seni (20/10), genap satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pada momentum tersebut, janji penciptaan 19 juta lapangan kerja kembali menjadi sorotan publik, karena dinilai belum terealisasi di tengah kesiapan sumber daya manusia yang masih belum merata di berbagai daerah. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) Program Studi Ilmu Hadis (Ilha) semester tiga, Syaikhul Alim menuturkan, janji penciptaan 18 hingga 19 juta lapangan kerja yang digulirkan pada awal pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka belum terealisasi. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran di tengah tingginya angka pengangguran dan banyaknya masyarakat yang bekerja secara seadanya. “Janji 18 atau 19 juta lapangan kerja belum juga terwujud, padahal masyarakat sangat membutuhkan. Akibatnya, sebagian orang memilih jalan pintas demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Pemerintah perlu segera merealisasikan janji itu secara menyeluruh, termasuk bagi mahasiswa keagamaan seperti kami. Jika peluang di dalam negeri terbatas, bisa dilakukan kerja sama dengan negara lain agar sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045,” tuturnya. Salah satu pengamen Warkop Kita, Andi Supardi mengungkapkan, menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, janji penciptaan 19 juta lapangan kerja masih belum terlihat jelas. Persoalan utama dinilai bukan hanya pada ketersediaan pekerjaan, tetapi juga pada rendahnya kesiapan sumber daya manusia di berbagai daerah. “Lapangan kerja sebenarnya banyak, tergantung manusianya mau berusaha atau tidak. Jangan mudah tergiur jalan instan seperti pinjol karena justru merugikan. Pemerintah perlu membuktikan janji kampanye dengan menyalurkan dana ke daerah yang masih tertinggal agar pembangunan bisa merata,” ungkapnya. (Fayruz Zalfa Zahira)
Sasar Pasar Haji dan Umrah, Indonesia Maksimalkan Ekspor Kuliner Khas ke Arab Saudi
Penunaian ibadah umrah. Sumber. bmm.or.id Indonesia tengah meningkatkan ekspor produk makanan nusantara untuk memenuhi kebutuhan jemaah haji dan umrah di Arab Saudi. Upaya ini dilakukan guna memaksimalkan potensi ekonomi yang mencapai lebih dari Rp100 triliun setiap tahun, sekaligus memperkuat kontribusi sektor ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Langkah tersebut juga diharapkan mampu membuka peluang lebih luas bagi pelaku usaha dan UMKM lokal untuk menembus pasar Timur Tengah. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Manajemen Dakwah (MD), semester lima, Fadilah Nur Khasanah mengatakan, kebijakan peningkatan ekspor produk makanan nusantara dapat mendorong pertumbuhan sektor ekonomi sekaligus memperkenalkan kuliner Indonesia ke pasar yang lebih luas, khususnya di Arab Saudi. Ia berharap kebijakan tersebut dapat segera direalisasikan agar memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan citra produk Indonesia di kancah internasional. “Kebijakan ekspor ini mampu memberikan keuntungan bagi berbagai sektor, terutama ekonomi. Selain itu, peningkatan distribusi makanan Indonesia di Arab Saudi juga diharapkan dapat membantu masyarakat Indonesia yang tengah menunaikan ibadah haji dan umrah agar lebih mudah beradaptasi dengan cita rasa nusantara. Misalnya, perbedaan rasa pada produk mi instan antara Indonesia dan Arab dapat disesuaikan agar lebih sesuai dengan selera masyarakat Indonesia di luar negeri,” ucapnya. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) semester lima, Humairoh Azzahra menyampaikan, kebijakan peningkatan ekspor makanan khas Indonesia merupakan langkah positif, mengingat banyak masyarakat Indonesia di Arab Saudi yang menginginkan ketersediaan cita rasa nusantara. Ia menilai, selera masyarakat Arab dan Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda karena keduanya sama-sama menyukai makanan yang kaya rempah. “Salah satu contoh makanan yang cocok untuk diekspor adalah bakso aci, mengingat kondisi cuaca di Madinah yang cenderung dingin. Selain itu, hidangan seperti nasi kuning dan makanan berbumbu lainnya juga berpotensi memperkenalkan kekayaan kuliner Indonesia ke mancanegara. Upaya ini diharapkan tidak hanya meningkatkan popularitas kuliner nusantara, tetapi juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan di dalam negeri,” ujarnya. (Nayla Putri Kamila)
Perkuat Ketahanan Pangan Nasional, Kemendikdasmen Tingkatkan Literasi Pangan Lokal
Kemendikdasmen tingkatkan literasi pangan lokal di sekolah sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional. Sumber. badanbahasa.kemendikdasmen.go.id Penguatan literasi pangan lokal digencarkan sebagai upaya menumbuhkan kesadaran generasi muda terhadap pola makan sehat dan berkelanjutan, sejalan dengan program ketahanan pangan nasional. Gerakan ini menyoroti pentingnya pemahaman pangan dari sisi nilai sosial dan potensi daerah. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyambut langkah tersebut dengan rencana memperkuat literasi pangan di dunia pendidikan melalui penerbitan bahan bacaan, penambahan istilah pangan dalam KBBI, serta kerja sama dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) semester tiga, Khairul Umam menuturkan, pentingnya meningkatkan literasi pangan di kalangan generasi muda agar tidak hanya menilai makanan dari segi rasa dan tren semata. Pemahaman terhadap asal-usul serta nilai sosial pangan lokal dinilai dapat menumbuhkan kesadaran mahasiswa akan potensi daerah sekaligus mendorong kontribusi nyata dalam pengembangan produk masyarakat. “Literasi pangan juga mencakup pemahaman tentang makanan yang baik dikonsumsi dan mana yang sebaiknya dibatasi. Kesadaran ini penting agar generasi muda tumbuh dengan pola makan sehat dan berkelanjutan, sehingga memberi dampak positif bagi generasi berikutnya. Kampus memiliki peran besar dalam mengenalkan literasi pangan, misalnya melalui seminar, proyek sosial, atau kampanye kreatif di media kampus agar isu ini lebih mudah diterima mahasiswa,” tuturnya. Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), semester tiga, Muhammad Fadhillah Miftah menyampaikan, cara paling efektif mengenalkan literasi pangan kepada anak muda adalah melalui kegiatan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti kampanye kreatif, bazar makanan lokal, atau konten edukatif di media sosial. Literasi pangan dinilai akan lebih mudah diterima jika dikemas secara ringan dan menarik, bukan melalui pendekatan yang terlalu formal. “Mahasiswa bisa mulai dari hal sederhana, seperti membeli produk lokal, ikut mempromosikan UMKM daerah, atau membuat konten seputar pangan sehat dan produk Indonesia di media sosial. Dengan begitu, isu pangan tidak hanya menjadi wacana, tetapi dapat berkembang menjadi gerakan nyata di lingkungan kampus yang seru, relevan, dan berdampak langsung bagi masyarakat,” ujarnya. (Fayruz Zalfa Zahira)
Perkuat Kepercayaan Publik, Jaksa Agung Tegaskan Pentingnya Adaptasi Budaya
Jaksa Agung menegaskan pentingnya adaptasi budaya di kejaksaan sebagai kunci untuk memperkuat kepercayaan publik. kejaksaan.go.id Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan pentingnya adaptasi budaya bagi para jaksa agar mampu menjadi insan Adhyaksa yang humanis dan adaptif. Upaya ini dinilai penting untuk membentuk jaksa yang tidak hanya cerdas dan profesional, tetapi juga memahami konteks sosial serta budaya masyarakat tempat mereka bertugas. Adaptasi budaya mencakup kemampuan memahami bahasa daerah, membangun kepercayaan publik, dan menyampaikan pesan hukum secara efektif. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Ilmu Hukum (IH), semester lima, Tiara Refani Junior menuturkan, pentingnya kemampuan jaksa beradaptasi dengan budaya setempat, terutama saat bertugas di luar daerah asal. Menurutnya, pemahaman terhadap budaya lokal menjadi kunci karena hukum bersifat dinamis dan harus hidup di tengah masyarakat agar dapat diterapkan secara efektif. Ketidakmampuan beradaptasi dengan hukum yang berlaku, termasuk hukum adat, berpotensi menimbulkan konflik dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. “Sebagai mahasiswa hukum, penting memahami bagaimana hukum tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, baik dari sisi sosial maupun norma yang melingkupinya. Pemahaman terhadap antropologi dan sosiologi juga menjadi bagian penting agar calon penegak hukum mampu menafsirkan hukum berdasarkan konteks sosial yang melatarinya,” tuturnya. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Jurnalistik, semester lima, Firman Fathur Rahman mengungkapkan pentingnya bagi jaksa memahami nilai-nilai budaya di wilayah tempat bertugas. Sebelum hukum negara diberlakukan, masyarakat telah memiliki hukum adat yang menjadi pedoman, sehingga pemahaman terhadap budaya lokal dapat membantu jaksa menghindari konflik dan menjalankan tugas dengan bijak. “Sebagai mahasiswa, perlu membiasakan diri membaca dan mengikuti perkembangan berita untuk menambah wawasan serta kepedulian terhadap kondisi negara. Mahasiswa juga sebaiknya berperan aktif menyuarakan pendapat, misalnya melalui tulisan opini di media sosial,” ungkapnya. (Nadine Fadila Azka)
Wujudkan Pemerintahan Modern, MENPANRB Tegaskan Transformasi Digital Jadi Fondasi Layanan Publik Efektif
MENPAN-RB, Rini Widyantini, tegaskan pentingnya transformasi digital. menpan.go.id Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN-RB), Rini Widyantini menegaskan, pentingnya transformasi digital sebagai fondasi utama pemerintahan modern. Transformasi digital tidak sekadar penerapan teknologi, melainkan langkah strategis untuk menghadirkan layanan publik yang lebih cepat, efektif, dan dekat dengan masyarakat. Namun di balik peluang besar itu, kebijakan ini juga menghadirkan tantangan berupa berbagai dampak positif dan negatif dalam perjalanan reformasi birokrasi digital di Indonesia. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Kesejahteraan Sosial (Kessos), semester sembilan, Afifah Tri mengungkapkan, perkembangan transformasi digital menuntut masyarakat untuk lebih waspada terhadap potensi penyalahgunaan teknologi. Masyarakat diharapkan mampu memanfaatkan kemajuan digital secara bijak agar tidak disalahgunakan untuk hal yang merugikan dan tidak bermanfaat di masa mendatang. “Sebagai mahasiswa, penting untuk memahami tata cara penggunaan media sosial yang baik dan benar guna mendukung realisasi program pemerintah menuju Indonesia Emas 2045. Kolaborasi dan kesadaran bersama menjadi kunci agar tidak lagi terjadi kebocoran data maupun penyalahgunaan informasi yang dapat merugikan masyarakat dan negara,” ungkapnya. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), jurusan Ilmu Hukum (IH), semester lima, Amanda Tiara Karim mengatakan, ttransformasi digital diharapkan mampu mempermudah masyarakat dalam mengakses berbagai informasi secara cepat dan efisien. Kehadiran teknologi digital dinilai menjadi langkah maju dalam mewujudkan pelayanan publik yang terbuka dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat modern. “Namun, di balik kemudahan ini, dibutuhkan pula transparansi dari pemerintah agar masyarakat dapat menaruh kepercayaan penuh terhadap proses transformasi digital. Pemerintah diharapkan memastikan perlindungan terhadap data pribadi warga agar tidak terjadi penyalahgunaan informasi. Keterbukaan dan kejelasan mengenai pengelolaan data menjadi hal penting agar masyarakat merasa aman sekaligus mendukung pembangunan digital yang berintegritas,” pungkasnya. (Nayla Putri Kamila)
Dorong Diplomasi Budaya dan Kesejahteraan Musisi, Kemenbud Gelar Konferensi Musik Indonesia
Kemenbud menggelar Konferensi Musik Indonesia untuk mendorong diplomasi budaya dan meningkatkan kesejahteraan musisi Tanah Air. Sumber. voi.id Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) menggelar Konferensi Musik Indonesia (KMI) dengan misi memperkuat diplomasi budaya sekaligus meningkatkan kesejahteraan musisi tanah air. Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon menegaskan, musik kini tidak hanya menjadi ekspresi budaya, tetapi juga pendorong ekonomi kreatif dan instrumen diplomasi yang memiliki potensi besar bagi Indonesia di kancah global. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Jurnalistik semester lima, Muhammad Salman Alfarisi menilai musisi lokal yang karyanya viral seharusnya memperoleh royalti, mengingat proses produksi musik memerlukan biaya besar. Ia memandang ada dua sisi bagi musisi baru yang lagunya tiba-tiba viral. Di satu sisi, pemberian royalti menjadi bentuk penghargaan atas karya mereka. Namun di sisi lain, tidak diberikannya royalti juga dianggap wajar karena karya tersebut masih menjadi sarana promosi bagi musisi yang baru merintis. “Jika orang yang menggunakan musik saya adalah teman, saya tidak mempermasalahkannya. Namun bila digunakan oleh pihak yang tidak dikenal dan mereka justru mendapatkan royalti lebih besar, hal itu patut dipertimbangkan kembali,” ujarnya. Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST), jurusan Pendidikan Matematika, semester lima, Maira Nurul Faizah menuturkan, platform musik seperti Spotify, Apple Music, dan lainnya memiliki peran penting dalam memperluas akses pendengar serta mengenalkan musik nasional ke kancah internasional. Ia menilai sistem royalti di Indonesia masih lebih berpihak pada label besar, sehingga perlu adanya keadilan bagi seluruh musisi. “Jika ada musisi yang lagunya digunakan untuk konten di Instagram atau TikTok, seharusnya mereka tetap mendapat royalti. Pembuatan musik membutuhkan biaya besar dan apresiasi layak agar musisi terus termotivasi untuk berkarya,” tuturnya. (Nayla Putri Kamila)
Layanan Asuransi Humanis di Era AI: Agen Didorong Jaga Kepercayaan dan Kecepatan
Agen asuransi didorong untuk mempertahankan layanan yang humanis dengan menjaga kepercayaan dan kecepatan di tengah perkembangan teknologi AI. Sumber. jawapos.com Industri asuransi di Indonesia kini memasuki era digital yang menuntut inovasi serta kemampuan adaptasi tinggi. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan Artificial Intelligence (AI), para agen asuransi didorong untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui layanan yang lebih cepat, transparan, dan manusiawi. Pemanfaatan teknologi bukan dimaksudkan untuk menggantikan peran manusia, melainkan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dalam memberikan pelayanan asuransi yang berorientasi pada kebutuhan nasabah. Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST), jurusan Kimia semester tujuh, Paramitha Puteri Gayatri menyampaikan, transformasi digital membuat industri asuransi semakin efisien dan praktis. Proses yang berjalan otomatis memungkinkan pelayanan lebih cepat dan tepat. Sebagai generasi yang terbiasa dengan teknologi, mahasiswa berperan penting mendorong percepatan digitalisasi melalui ide inovatif, pengembangan aplikasi, dan promosi di berbagai platform agar asuransi digital makin dikenal. “Pemanfaatan teknologi juga membuka akses bagi masyarakat di daerah terpencil tanpa harus datang langsung, sehingga lebih hemat biaya dan waktu. Langkah ini sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan asuransi. Karena itu, edukasi bagi generasi muda perlu diperkuat agar asuransi dipandang menarik dan mudah digunakan melalui kemasan digital yang modern,” ujarnya. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester tiga, Khairunisa Ramadhanti menuturkan, sistem kerja industri kini menjadi lebih praktis karena hampir seluruh proses telah beralih ke sistem digital. Jika sebelumnya layanan asuransi harus melalui agen, kini semuanya dapat diakses dengan mudah melalui aplikasi, membuat proses lebih cepat dan efisien. “Generasi muda memiliki peran penting dalam mendukung perkembangan teknologi melalui ide, inovasi digital, serta promosi asuransi di media sosial agar lebih dikenal masyarakat luas. Sebagai motor penggerak industri, mereka dapat mendorong transformasi digital agar semakin maju. Kehadiran digitalisasi juga membuat layanan asuransi lebih mudah dijangkau hingga ke daerah terpencil, sehingga akses terhadap perlindungan asuransi menjadi lebih merata,” tuturnya. (Nadine Fadila Azka)