Proses evakuasi pendaki asal Brazil di Rinjani. Sumber. regional.kompas.com
Balamuda, kalau kita membicarakan tentang olahraga di luar ruangan, sepertinya mendaki gunung atau hiking jadi salah satu aktivitas yang nggak bisa dilewatkan. Kenapa tidak? Walaupun perlu persiapan biaya, fisik, dan mental yang lebih, hiking tetap jadi pilihan banyak orang sebagai sarana olahraga maupun rekreasi, baik oleh masyarakat lokal maupun turis asing. Keindahan alam yang ditawarkan selalu memberi kepuasan tersendiri saat berhasil sampai ke puncak.
Hal itu pula yang ingin dirasakan oleh Juliana Marins, turis asal Brazil berusia 26 tahun, yang mendaki Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sayangnya, alih-alih menikmati keindahan Rinjani, Juliana justru mengalami kejadian tragis yang tidak diharapkan siapa pun. Ia dilaporkan terjatuh ke jurang ratusan meter menuju Danau Segara Anak, pada Sabtu 21 Juni lalu.
Awalnya, Juliana mendaki bersama enam rekannya dan seorang pemandu lokal. Ketika sampai di titik Cemara Nunggal, Juliana mengaku kelelahan dan disarankan untuk beristirahat. Sementara itu, pemandu melanjutkan perjalanan bersama rombongan lainnya. Karena Juliana tak kunjung menyusul, sang pemandu kembali ke lokasi istirahat, namun tak menemukannya di sana. Dari titik itu, terlihat cahaya senter dari arah jurang, yang diduga berasal dari Juliana. Pemandu pun langsung meminta bantuan tim otoritas setempat.
Tiga hari kemudian, tim SAR menyatakan bahwa Juliana telah meninggal dunia. Hasil pencarian dilakukan menggunakan drone thermal dari Kantor SAR Mataram. Namun, proses evakuasi berjalan sangat lambat karena lokasi yang curam serta cuaca yang tidak mendukung. Hal ini sontak menyita perhatian publik, baik dari dalam negeri maupun luar, terutama warganet Brazil yang ramai mengungkapkan kekecewaan terhadap lambannya penanganan evakuasi tersebut.
Nah Balamuda, dari peristiwa ini muncul satu pertanyaan penting. “Kenapa proses evakuasi korban bisa berlangsung sangat lama?” Sejumlah ahli pendakian menyebutkan bahwa salah satu faktor utama adalah minimnya perlengkapan penyelamatan darurat di lokasi. Padahal, titik-titik rawan pendakian sangat membutuhkan alat evakuasi lengkap karena kejadian serupa sudah cukup sering terjadi. Selain itu, tidak adanya tim penyelamat khusus yang siaga serta cuaca buruk juga memperparah situasi.
Balamuda, peristiwa ini menjadi pengingat penting soal pentingnya protokol keselamatan di tempat wisata ekstrem seperti Gunung Rinjani. Harapannya, pemerintah dan pihak terkait bisa memperkuat pengawasan dan fasilitas keselamatan agar hal seperti ini tidak terulang. Untuk Balamuda yang berniat mencoba hiking, yuk latih fisik dan mental lebih dulu. Pilih gunung yang sesuai untuk pemula, bawa perlengkapan yang memadai, dan yang paling penting, tetap waspada selama perjalanan. Karena Balamuda harus selalu siap dengan segala kemungkinan di alam terbuka.
(Mahendra Dewa Asmara)